Bentuk – Bentuk Berguru Berdasarkan Gagne

pengertian belajar berdasarkan Gagne, selanjutnya diuraikan wacana bentuk-bentuk belajar. Gagne (1984) mengemukakan bahwa ada lima bentuk-bentuk belajar, yaitu: berguru responden, berguru kontiguitas, berguru operant, berguru observasional dan berguru kognitif. Masing-masing diuraikan berikut ini.

1. Belajar Responden

Salah satu bentuk berguru disebut berguru responden. Dalam berguru semacam ini, suatu respons dikeluarkan oleh suatu stimulus yang telah dikenal. Contoh berguru responden ialah hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh hebat psikologi Rusia yang terkenal, Ivan Pavlov.

Seekor anjing diberi serbuk daging dan saat anjing itu memakannya, keluar air liurnya. Serbuk daging disebut stimulus tak terkondisi (unconditioned stimulus—US) dan tindakan mengeluarkan air liur disebut respons tak terkondisi (unconditioned response—UR). Terjadi respons terhadap stimulus ini tidak merupakan belajar, tetapi terjadi secara instingtif.

Sekarang lampu kita hidupkan di daerah anjing itu. Menghidupkan lampu memunyai imbas yang minimal terhadap keluar air liurnya anjing itu. Kemudian, kita nyalakan lampu sempurna sebelum memperlihatkan serbuk daging itu pada anjing (US). Jika hal ini kita lakukan beberapa kali, lalu pada suatu percobaan, tanpa memperlihatkan serbuk daging, kita lihat timbulnya respons mengeluarkan air liur. Cahaya, yang sebelumnya merupakan stimulus yang netral, kini menjadi stimulus terkondisi (conditioned stimulus—CS) dan respons yang ditimbulkan disebut respons terkondisi (conditioned response—CR).

Dalam situasi di atas, sikap berubah sebagai hasil suatu pengalaman. Kaprikornus situasi ini sesuai dengan definisi berguru yang sederhana yang telah dikemukakan terdahulu. Sekarang marl kita pindah dari anjing ke insan dan kita gunakan model ini dalam bentuk yang lebih umum. Kita sanggup menganggap hubungan antara stimulus tak terkondisi dengan respons beroperasi jikalau suatu stimulus (US) menyebabkan reaksi emosional (UR), ibarat takut, march, gembira, senang, bahagia. Memasangkan stimulus terkondisi, yaitu suatu stimulus netral sebelumnya, dengan stimulus tak terkondisi menghasilkan timbulnya suatu respons terkondisi (seperti takut atau gembira) terhadap stimulus terkondisi itu.

Sekarang marilah kita lihat beberapa contoh. Pada diri seseorang anak di hari pertama masuk sekolah, mungkin timbul perasaan takut, yang disebabkan oleh sikap guru yang tidak ramah, disiplin sekolah, atau ejek-ejekan teman. Model berguru responden pertanda hal ini sebagai berikut. Sekolah dan semua komponennya, ibarat guru, buku, murid-murid, mungkin saja pada suatu saat memicu munculnya rasa takut lantaran semua ini telah terkait dengan stimulus yang menginduksi perasaan negatif.

Perasaan "takut akan simbol" yang timbul pada siswa-siswa jikalau mereka untuk pertama kalinya menghadapi simbol-simbol matematika, ibarat α, β, atau y = ax + bx + c, mungkin didasarkan pada responden terkondisi wacana respons takut terhadap soal-soal matematika. Melihat simbol-simbol yang tidak dikenal, yang sebelumnya telah dipasangkan dengan bidang studi yang sulit, menyebabkan emosi negatif dalam diri siswa, dan inilah yang kerap kali menghalang-halangi berguru efektif.

Sesungguhnya, semua hal dalam lingkungan sanggup menjadi berpasangan dengan suatu stimulus yang menyebabkan respons emosional. Kata-kata guru yang ramah atau kata-kata guru yang berangasan sanggup menyebabkan perasaan senang atau perasaan takut. Stimulus yang terasosiasi, ibarat matematika, sekolah, sanggup menyebabkan respons ibarat dengan respons yang tak terkondisi. Bentuk berguru semacam ini kerap kali terjadi tanpa disadari oleh siswa sehingga sulit bagi siswa untuk memahami bagaimana respons-respons tertentu itu diperoleh. Seorang guru yang meneliti peristiwa-peristiwa belajar dengan model berguru responden mungkin sanggup menolong para siswa memahami perasaan mereka, mencapai hash-hash berguru yang lebih memuaskan, dan mencegah mereka dari berguru respons-respons yang tidak diinginkan.

2. Belajar Kontiguitas

Sudah kita lihat bahwa pemasangan stimulus tak terkondisi dan stimulus terkondisi merupakan suatu syarat untuk berguru responden. Beberapa teoretikus berguru mengemukakan bahwa pemasangan insiden sederhana itu (kejadian apa pun) sanggup menghasilkan belajar. Tidak diharapkan hubungan stimulus tak terkondisi—respons. Asosiasi erat (contiguous) sederhana antara suatu stimulus dan suatu respons sanggup menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku.

Kekuatan berguru kontiguitas sederhana sanggup dilihat jikalau seseorang memperlihatkan respons terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum lengkap ibarat berikut:

Sembilan kali lima sama dengan …
Gunung Semeru ialah gunung tertinggi di …
Anak itu sepandai …
Cita-citanya setinggi …

Dengan mengisikan kata-kata empat puluh lima, jawa Timur, ayahnya, langit, memperlihatkan bahwa kita sanggup berguru sesuatu lantaran insiden atau stimulus terjadi berdekatan pada waktu yang sama. Kadang-kadang diharapkan pengulangan peristiwa-peristiwa itu, tetapi ada kalanya berguru terjadi tanpa diulang. Kaprikornus tidak perlu kita menganggap hubungan stimulus tak terkondisi­respons. Secara sederhana sanggup dikatakan bahwa insan sanggup berubah sebagai hasil pengalaman peristiwa-peristiwa yang berpasangan.

Dalam sekolah kita melihat bentuk berguru semacam ini waktu guru "mendril" siswa. Misalnya dalam menghafalkan pertambahan "2 + 2, 3 + 3, 4 + 4" dan seterusnya atau perkatian 2 x 2, 3 x 3, 4 x 4" dan seterusnya. Mengajar dengan memakai metode "dril" ini, walaupun kerap kali membosankan, sanggup menjadi efisien lantaran insiden yang terjadi secara bersamaan sanggup menghasilkan belajar. Mengatakan "empat" terhadap stimulus "2 + 2" menyebabkan pemasangan stimulus dan respons yang asosiasinya akan dipelajari.

Penjelasan bentuk-bentuk belajar yang ke 3, 4 dan 5 sanggup dibaca di bentuk-bentuk berguru lanjutan. Semoga bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bentuk – Bentuk Berguru Berdasarkan Gagne"

Post a Comment